Selasa, 20 Januari 2015

BUDDHA DHAMMA KONTEKSTUAL

PERCERAIAN DALAM BUDDHISME
Oleh: Lilik Sumarwi (0250113010529)
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Pernikahan merupakan masalah umum yang dihadapi oleh setiap orang, pernikahan diatur dalam undang-undang  didalam agama Buddha pernikahan dianggap sebagai persoalan pribadi setiap individu untuk memiliki kebebasan hidupnya. Maka dari itu pernikahan dalam agama Buddha tidak dianggap suci maupun tidak suci dan bukan merupakan sebuah larangan ataupun kewajiban suatu agama. Sebagai umat Buddha maka kita agar bisa membentuk keluarga bahagia kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, dalam hal ini Sang Buddha pernah bersabda:
“Inilah, O perumah tangga, empat jenis pernikahan.”
“Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan(saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (panna).” (Anguttara Nikaya II, 62)
Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami-istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni. Tetapi dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami-istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni atau berakhir degan perceraian. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.
Menurut Nasaruddin Umar (detik.com) bahwa, “Angka perceraian pada tahun 2014 sudah mencapai 354 ribu, ini sudah melewati angka 10% dari peristiwa pernikahan setiap tahun.” Data tersebut menunjukan bahwa kurangnya kesadaran tentang makna pernikahan dan menyelesaikan permasalahan dengan perceraian.
PEMBAHASAN
Pada masa globalisasi seperti saat ini pernikahan seperti dianggap sebagai permainan semata yang pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah tangga, karena suatu masalah dalam rumah tangga seharusnya diselesaikan dengan berbagai tahap dan menghasilkan sebuah jalan keluar. Jika tidak dapat menemukan suatu jalan keluar maka rumah tangga akan berujung dengan perceraian. Didalam rumah yangga masalah-masalah yang sering muncul antara lain;
1.    Masalah keuangan
Masalah keuangan atau ekonomi sangat rentan dalam pernikahan, karena uang digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Bagi suami maupun istri yang baru 1-5 tahun sangat berpengaruh dalam keluar, sehingga suami maupun beradaptasi dengan keungan yang mulai dibagi dengan pasangannya.
2.    Masalah komunikasi
Jika pasangan sudah memiliki masalah komunikasi sejak sebelum menikah atau masa-masa pendekatan sebelum menikah, maka kemungkinan besar problem yang satu ini akan menjadi semakin buruk setelah perkawinan.  Dalam situasi ini, yang penting masing-masing pihak memiliki niat untuk membahas secara terbuka masalah dan kelemahan masing-masing. Tanpa komunikasi dua arah, jika tidak maka perkawinan tak akan bertahan lama.
3.    Masalah seks
Seks merupakan bumbu-bumbu penyedap yang terdapat dalam perkawinan, seks merupakan bagian penting dalam perkawinan sekaligus juga bisa menjadi sumber banyak masalah dalam perkawinan. Setiap perkawinan membutuhkan proses penyempurnaan antara lain dengan aktivitas bercinta.  Kegagalan dalam kehidupan seks yang sehat dan adanya jurang frekuensi hubungan seks atau seks yang tidak berkualitas, bisa menjurus pada hancurnya perkawinan.
4.    Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Kekerasan atau penyiksaan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun tidak bisa diterima dalam perkawinan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan dalam kata-kata, kekerasan ini terjadi karena adanya masalah yang diselesaikan dengan emosional tanpa perbincangan yang lebih mendalam. Kedua kekerasan tersebut sering menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
5.    Masalah ekspektasi
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan sering tergantung pada adanya harapan-harapan yang begitu banyak tanpa dipahami dengan realistis dari masing-masing pihak terhadap pasangannya. Jika ada harapan-harapan romantisme yang terlalu muluk-muluk dan tidak realistis, maka hal tersebut bisa menjadi pangkal dari keretakan suami-istri.  Agar perkawinan dapat bertahan, memang dibutuhkan tingkat kedewasaan dari suami mapun istri
Setelah mengetahui masalah-masalah yang akan diajukan kepengadilan agama, selanjutnya menunggu proses pengadilan, “Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima berkas/surat gugatan perceraian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim. Dalam menetapkan waktu persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negara, maka sidang pemeriksaan gugatan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu pada kepaniteraan pengadilan (Pasal 29 ayat (1) s.d ayat (3) PP 9/1975). Jika tanpa Advokat pada umumnya proses perceraian akan memakan waktu maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama.” Hilman Hadisukuma, S.H (Hukum Perkawinan Indonesia:175)
Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua. Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya yang membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan menurut Dhamma dan menjadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain gagal. Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga, seberapapun beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha. Dalam kitab Vinaya Pitaka ada sebuah kisah:
“Ketika itu seseorang wanita bertengkar dengan suaminya lalu kembali ke rumah ibunya. Seorang bhikkhu yang kerap mengunjungi keluarganya berupaya mendamaikan (mereka) kembali. Muncul penyesalan pada dirinya…
“Bhikkhu, apakah dia sudah diceraikan?”
“Belum diceraikan, Bhagavan.”
“Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran dalam hal belum diceraikan.”
Bukanlah merupakan suatu pelanggaran apabila seorang bhikkhu berusaha mendamaikan seorang wanita yang bertengkar dengan pasangannya. Maka dari itu, usaha bhikkhu tersebut patut dicontoh oleh kita, bahwa perceraian seharusnya dhindari dan pertengkaran atau permasalahan di antara pasangan sebisa mungkin diselesaikan dengan baik-baik. Dari sana bisa dilihat bahwa ajaran sang Buddha sangat mendukung usaha untuk mendamaikan kembali pasangan yang bertengkar ataupun yang telah cerai. Cerai akan dapat membawa penderitaan bagi anak-anak mereka dan menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua orang pasangan suami istri.
Apabila menjelang tua, cinta suami istri menjadi tawar, ini bukanlah suatu alasan untuk bercerai. Ketika cinta, kita menikah, ketika sudah tidak cinta, kita cerai. Apakah begitu? Di manakah komitmen kita kalau kita cerai hanya karena alasan seperti itu? Ketika cinta sudah mulai terkikis, bukan berarti kita tidak bisa jatuh cinta lagi dengan pasangan hidup kita. Seperti dalam Kanha Dipayana Jataka, Khuddaka Nikaya:
Mandavya bertanya pada istrinya kenapa ia tidak meninggalkan (menceraikan) dirinya padahal ia tidak mencintainya. Istrinya menjawab bahwa bagi wanita yangtelah menikah, tidak patut untuk mencari pasangan baru karena akan menurunkan derajat moral orang lain dan oleh karena alasan inilah ia tidak meninggalkan (menceraikan) suaminya meskipun sebenarnya ia tidak merasa bahagia. Setelah itu sang istri meminta maaf dan Mandavya menerima maafnya. Mandavya berjanji tidak akan membuat istrinya bersedih dan juga membuat istrinya berjanji untuk tidak kasar pada dirinya. Sejak saat itu sang istri menjadi mencintai Mandavya.
Dalam kitab Ruhaka Jataka, dikisahkan seorang istri yang penuh tipu daya membuat malu suaminya (Ruhaka) di hadapan raja. Sang raja yang merupakan kelahiran lampau Sang Bodhisatta, begitu mengetahui bahwa Ruhaka hendak menceraikan istrinya karena ia dipermalukan oleh tipu daya wanita tersebut, berkata pada Ruhaka agar ia memaafkan kesalahan istrinya. Namun Ruhaka Tidak mau mendengarnya dan kemudian menceraikan istrinya tersebut serta mengambil istri lain.
Di sini bisa dilihat bahwa meskipun suami atau istri kita adalah seorang yang tidak berbudi baik, maka sesuai nasehat Sang Bodhisatta, kita harus mencoba untuk memaafkannya, memahaminya dan membuatnya berubah, jadi jangan langsung minta cerai. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.
KESIMPULAN
Buddha mengajarkan umatnya untuk berani bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri yang dilakukan, tidak boleh “Lempar Batu Sembunyi Tangan”. Kesalahan Fatal manusia ialah suka mencari ‘Kambing Hitam’, kalau sudah terjadi kasus yang menimpa dirinya, apalagi yang menyakitkan dan membawa penderitaan. Padahal dirinya sendiri yang membuatnya, namun manusia tak mau menerima akibat yang menimbulkan penderitaan.
Perceraian tidak akan menjadi ‘DOSA’ dalam ajaran Buddha Gotama, tapi konsekuensi atau akibat yang akan dipikul bersama dalam hidup rumah tangga (suami dan istri). Sedikitnya beban psikologis kedua pihak baik suami atau istri, misalnya menanggung Malu, dipandang rendahan oleh masyarakat yang mengetahuinya. Apalagi kalau sudah punya anak, bebannya makin berat, selain menularkan dampak negatif kepada anak yang belum tahu apa-apa. Juga dimata anak-anak orangtua akan dibenci, tidak layak dihormati. Dan memberi contoh suritauladan yang buruk, apalagi anaknya perempuan, akan lebih trauma.
Banyak anak-anak korban broken home (Perceraian) yang kelak dewasa jadi brutal, pergaulan bebas, narkoba, anak jalanan, penjudi, pemabuk, dsb. Semua itu menurut anak-anak adalah tempat khusus Pelampiasan secara psikologi anak-anak yang trauma korban perceraian. Masa depan anak-anak kadang terabaikan oleh orangtua yang menjadi korban perceraian, dalam hal ini bagi pasangan suami istri yang mendapat masalah rumah tangga, sebaiknya konsultasi dengan dokter psikologi, atau para sesepuh yang banyak pengalaman dalam hidupnya. Untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Andaikata suami selingkuhpun, ada baiknya istri harus menerima sebagai konsekuensi untuk memaafkan, sebagai istri yang cinta sepenuh hati dan setia sampai mati. Demikian pula sebaliknya, hanya yang perlu diingat ialah “Jangan Terus Diulangi Lagi”. Inilah jalan satu-satunya yang indah dan berharga dalam kehidupan rumah tangga.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia (ITC). Mandar Maju: Bandung
Hardi, E. 1999. Angutara Nikaya. The Pali Text Society: Oxford
Khuddaka Nikaya. The Pali Text Society: Oxford
Thitayanno. 2008. Vinaya Pitaka. Indonesia Tipitaka Center: Medan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar