PERCERAIAN
DALAM BUDDHISME
Oleh: Lilik
Sumarwi (0250113010529)
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga). Pernikahan merupakan masalah umum yang
dihadapi oleh setiap orang, pernikahan diatur dalam undang-undang didalam agama Buddha pernikahan dianggap
sebagai persoalan pribadi setiap individu untuk memiliki kebebasan hidupnya.
Maka dari itu pernikahan dalam agama Buddha tidak dianggap suci maupun tidak
suci dan bukan merupakan sebuah larangan ataupun kewajiban suatu agama. Sebagai
umat Buddha maka kita agar bisa membentuk keluarga bahagia kita harus mengikuti
ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah
menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan
seimbang, dalam hal ini Sang Buddha pernah bersabda:
“Inilah, O perumah tangga, empat jenis
pernikahan.”
“Apabila
sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama dalam kehidupan ini maupun
dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu
keduanya harus setara dalam keyakinan(saddha), setara dalam sila (moral),
setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian
(panna).” (Anguttara Nikaya II, 62)
Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan
pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami-istri akan dengan mudah untuk
mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni. Tetapi
dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami-istri yang memiliki
pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan
kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni atau
berakhir degan perceraian. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah
terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal.
Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap
pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.
Menurut Nasaruddin Umar
(detik.com) bahwa, “Angka perceraian pada tahun 2014 sudah mencapai 354 ribu,
ini sudah melewati angka 10% dari peristiwa pernikahan setiap tahun.” Data
tersebut menunjukan bahwa kurangnya kesadaran tentang makna pernikahan dan
menyelesaikan permasalahan dengan perceraian.
PEMBAHASAN
Pada masa globalisasi
seperti saat ini pernikahan seperti dianggap sebagai permainan semata yang pada
akhirnya menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah tangga, karena
suatu masalah dalam rumah tangga seharusnya diselesaikan dengan berbagai tahap
dan menghasilkan sebuah jalan keluar. Jika tidak dapat menemukan suatu jalan
keluar maka rumah tangga akan berujung dengan perceraian. Didalam rumah yangga
masalah-masalah yang sering muncul antara lain;
1. Masalah keuangan
Masalah
keuangan atau ekonomi sangat rentan dalam pernikahan, karena uang digunakan
sebagai kebutuhan sehari-hari. Bagi suami maupun istri yang baru 1-5 tahun
sangat berpengaruh dalam keluar, sehingga suami maupun beradaptasi dengan
keungan yang mulai dibagi dengan pasangannya.
2. Masalah komunikasi
Jika pasangan sudah memiliki masalah komunikasi sejak sebelum
menikah atau masa-masa pendekatan sebelum menikah, maka kemungkinan besar
problem yang satu ini akan menjadi semakin buruk setelah perkawinan. Dalam situasi ini, yang penting masing-masing
pihak memiliki niat untuk membahas secara terbuka masalah dan kelemahan
masing-masing. Tanpa komunikasi dua arah, jika tidak maka perkawinan tak akan
bertahan lama.
3. Masalah
seks
Seks merupakan bumbu-bumbu penyedap yang terdapat dalam
perkawinan, seks merupakan bagian penting dalam perkawinan sekaligus juga bisa
menjadi sumber banyak masalah dalam perkawinan. Setiap perkawinan membutuhkan
proses penyempurnaan antara lain dengan aktivitas bercinta. Kegagalan dalam kehidupan seks yang sehat dan
adanya jurang frekuensi hubungan seks atau seks yang tidak berkualitas, bisa
menjurus pada hancurnya perkawinan.
4. Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT)
Kekerasan atau penyiksaan dalam rumah tangga dalam bentuk
apapun tidak bisa diterima dalam perkawinan. Baik kekerasan fisik maupun
kekerasan dalam kata-kata, kekerasan ini terjadi karena adanya masalah yang
diselesaikan dengan emosional tanpa perbincangan yang lebih mendalam. Kedua
kekerasan tersebut sering menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
5. Masalah
ekspektasi
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan
sering tergantung pada adanya harapan-harapan yang begitu banyak tanpa dipahami
dengan realistis dari masing-masing pihak terhadap pasangannya. Jika ada
harapan-harapan romantisme yang terlalu muluk-muluk dan tidak realistis, maka
hal tersebut bisa menjadi pangkal dari keretakan suami-istri. Agar perkawinan dapat bertahan, memang
dibutuhkan tingkat kedewasaan dari suami mapun istri
Setelah
mengetahui masalah-masalah yang akan diajukan kepengadilan agama, selanjutnya
menunggu proses pengadilan, “Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterima berkas/surat gugatan perceraian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan oleh hakim. Dalam menetapkan waktu persidangan untuk memeriksa
gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila
tergugat bertempat kediaman di luar negara, maka sidang pemeriksaan gugatan
ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian itu pada kepaniteraan pengadilan (Pasal 29 ayat (1) s.d ayat (3) PP
9/1975). Jika tanpa Advokat pada umumnya proses perceraian akan memakan waktu
maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun di
Pengadilan Agama.” Hilman Hadisukuma, S.H (Hukum Perkawinan Indonesia:175)
Sebagaimana dimuka
telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian
ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungkin lagi dipertahankan, misalnya
seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti
raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat
(Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa
merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat
perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang
membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua. Oleh karena itu
jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi
keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya yang
membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak,
maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam
satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan
kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan
penceraian yang sesuai dengan Dhamma. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada
kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan pernikahan dan keluarga yang
harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah apabila ada permasalahan
dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan menurut Dhamma dan menjadikan
perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain gagal.
Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga, seberapapun
beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan menggugat
cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha. Dalam
kitab Vinaya Pitaka ada sebuah kisah:
“Ketika itu
seseorang wanita bertengkar dengan suaminya lalu kembali ke rumah ibunya.
Seorang bhikkhu yang kerap mengunjungi keluarganya berupaya mendamaikan
(mereka) kembali. Muncul penyesalan pada dirinya…
“Bhikkhu, apakah
dia sudah diceraikan?”
“Belum diceraikan,
Bhagavan.”
“Bhikkhu,
bukanlah suatu pelanggaran dalam hal belum diceraikan.”
Bukanlah merupakan suatu pelanggaran apabila seorang
bhikkhu berusaha mendamaikan seorang wanita yang bertengkar dengan pasangannya.
Maka dari itu, usaha bhikkhu tersebut patut dicontoh oleh kita, bahwa
perceraian seharusnya dhindari dan pertengkaran atau permasalahan di antara
pasangan sebisa mungkin diselesaikan dengan baik-baik. Dari sana bisa dilihat
bahwa ajaran sang Buddha sangat mendukung usaha untuk mendamaikan kembali pasangan
yang bertengkar ataupun yang telah cerai. Cerai akan dapat membawa penderitaan
bagi anak-anak mereka dan menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua
orang pasangan suami istri.
Apabila menjelang tua, cinta suami istri
menjadi tawar, ini bukanlah suatu alasan untuk bercerai. Ketika cinta, kita
menikah, ketika sudah tidak cinta, kita cerai. Apakah begitu? Di manakah
komitmen kita kalau kita cerai hanya karena alasan seperti itu? Ketika cinta
sudah mulai terkikis, bukan berarti kita tidak bisa jatuh cinta lagi dengan
pasangan hidup kita. Seperti dalam Kanha Dipayana Jataka, Khuddaka Nikaya:
Mandavya
bertanya pada istrinya kenapa ia tidak meninggalkan (menceraikan) dirinya
padahal ia tidak mencintainya. Istrinya menjawab bahwa bagi wanita yangtelah
menikah, tidak patut untuk mencari pasangan baru karena akan menurunkan derajat
moral orang lain dan oleh karena alasan inilah ia tidak meninggalkan
(menceraikan) suaminya meskipun sebenarnya ia tidak merasa bahagia. Setelah itu
sang istri meminta maaf dan Mandavya menerima maafnya. Mandavya berjanji tidak
akan membuat istrinya bersedih dan juga membuat istrinya berjanji untuk tidak
kasar pada dirinya. Sejak saat itu sang istri menjadi mencintai Mandavya.
Dalam kitab
Ruhaka Jataka, dikisahkan seorang istri yang penuh tipu daya membuat malu
suaminya (Ruhaka) di hadapan raja. Sang raja yang merupakan kelahiran lampau
Sang Bodhisatta, begitu mengetahui bahwa Ruhaka hendak menceraikan istrinya
karena ia dipermalukan oleh tipu daya wanita tersebut, berkata pada Ruhaka agar
ia memaafkan kesalahan istrinya. Namun Ruhaka Tidak mau mendengarnya dan
kemudian menceraikan istrinya tersebut serta mengambil istri lain.
Di sini bisa dilihat
bahwa meskipun suami atau istri kita adalah seorang yang tidak berbudi baik,
maka sesuai nasehat Sang Bodhisatta, kita harus mencoba untuk memaafkannya,
memahaminya dan membuatnya berubah, jadi jangan langsung minta cerai. Cerai
hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang
lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang
karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang
Bodhisatta.
KESIMPULAN
Buddha mengajarkan
umatnya untuk berani bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri yang
dilakukan, tidak boleh “Lempar Batu Sembunyi Tangan”. Kesalahan Fatal manusia
ialah suka mencari ‘Kambing Hitam’, kalau sudah terjadi kasus yang menimpa
dirinya, apalagi yang menyakitkan dan membawa penderitaan. Padahal dirinya
sendiri yang membuatnya, namun manusia tak mau menerima akibat yang menimbulkan
penderitaan.
Perceraian tidak akan
menjadi ‘DOSA’ dalam ajaran Buddha Gotama, tapi konsekuensi atau akibat yang
akan dipikul bersama dalam hidup rumah tangga (suami dan istri). Sedikitnya
beban psikologis kedua pihak baik suami atau istri, misalnya menanggung Malu,
dipandang rendahan oleh masyarakat yang mengetahuinya. Apalagi kalau sudah
punya anak, bebannya makin berat, selain menularkan dampak negatif kepada anak
yang belum tahu apa-apa. Juga dimata anak-anak orangtua akan dibenci, tidak
layak dihormati. Dan memberi contoh suritauladan yang buruk, apalagi anaknya
perempuan, akan lebih trauma.
Banyak anak-anak korban
broken home (Perceraian) yang kelak dewasa jadi brutal, pergaulan bebas,
narkoba, anak jalanan, penjudi, pemabuk, dsb. Semua itu menurut anak-anak
adalah tempat khusus Pelampiasan secara psikologi anak-anak yang trauma korban
perceraian. Masa depan anak-anak kadang terabaikan oleh orangtua yang menjadi
korban perceraian, dalam hal ini bagi pasangan suami istri yang mendapat
masalah rumah tangga, sebaiknya konsultasi dengan dokter psikologi, atau para
sesepuh yang banyak pengalaman dalam hidupnya. Untuk mencari jalan keluar yang
terbaik.
Andaikata suami
selingkuhpun, ada baiknya istri harus menerima sebagai konsekuensi untuk
memaafkan, sebagai istri yang cinta sepenuh hati dan setia sampai mati.
Demikian pula sebaliknya, hanya yang perlu diingat ialah “Jangan Terus Diulangi
Lagi”. Inilah jalan satu-satunya yang indah dan berharga dalam kehidupan rumah
tangga.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia (ITC). Mandar
Maju: Bandung
Hardi, E. 1999. Angutara Nikaya. The Pali Text Society:
Oxford
Khuddaka
Nikaya. The Pali Text Society: Oxford
Http://www.Perceraian/Indonesia/Sudahlewati/2010.Kabar24/0bisnis.com.Html
di unduh Pada Tanggal 10 Januari 2015
Thitayanno. 2008. Vinaya Pitaka. Indonesia Tipitaka Center: Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar