Rabu, 21 Januari 2015

TRADISI SEDEKAH LAUT JUWANA
DARI SUDUT PANDANG PANDANG BUDHISME
Oleh; Lilik Sumarwi(0250113010529)
Sedekah Laut merupakan kegiatan membuang sesaji, atau istilahnya adalah melarung sajen yang dimaksudkan sebagai rasa syukur dan permohonan keselamatan para nelayan dan masyarakat sekitar Juwana kepada sang pencipta, sang penguasa laut (sing mbaurekso) dan kepada Arwah-arwah leluhur. Juwana merupakan salah satu kota kecil di Kabupaten Patpi yang kaya dengan kebudayaannya. Juwana memiliki tradisi unik setiap tahunnya yaitu sedekah laut, dalam rentetan acara sedekah laut itu berlangsung selama satu minggu dengan berbagai macam agenda. Akan tetapi, satu agenda tradisi adat yang paling ramai adalah pesta rakyat berupa larung sesaji di Sungai Silugonggo. Sebenarnya larung sesaji bukanlah istilah baku bagi masyarakat Juwana, ada yang menyebutnya dengan pesta air, dan pesta rakyat. Ada juga masyarakat di luar Juwana yang menyebutkan ritual larung sesaji ini dengan istilah lomban kupatan. Diantara keunikan larung sesaji yaitu peraturan pelaksanaan. Misalnya, penentuan tanggal. Jadwal dari acara ini sudah jelas, yaitu dimulai hari ke-7 setelah lebaran idul fitri. Bulan Muharam atau Sura adalah bulan yang sakral bagi umat Islam bahkan menjadi salah satu bulan suci bagi umat Islam sebagai bentuk evaluasi diri, pengutaraan rasa syukur kepada Tuhan YME dan pergantian tahun pada kalender Hijriah. Begitupun dalam pandangan orang jawa atau yang biasa disebut dengan “kejawen” yang telah terakulturasi kebudayan Islam dari animisme-dinamisme dan Hindu-Budha, bedanya hanya bagi sebagian masyarakat Jawa bulan Sura adalah bulan yang mistis atau keramat. Kegiatan di bulan Sura biasanya adalah kegiatan selametan dan persembahan yang sering diikenal dengan istilah-istilah tirakatan (selametan) dan Sadranan atau Nadran (Pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi lauk pauk dan bermacam-macam kembang yang kemudian di Larung ke laut disertai dengan kepala kerbau) “Sedekah Laut”. Hal seperti ini sangat menguntungkan bagi penikmat acara pesta air dari luar Juwana, karena dilakukan secara konsisten, waktu tidak berubah – ubah. Larung laut di Sungai Silugonggo menurut pemuka adat tidak boleh dirayakan pada pasaran Wage, konon katanya apabila dilanggar akan menimbulkan musibah dan larung sesaji tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
PERSIAPAN SEDEKAH LAUT
Banyak alur yang harus dilakukan, secara runtut, satu per satu. Peelaksanaan larung sesaji sebenarnya adalah bagian dari sedekah laut. Pemusatan acara sedekah laut ini yaitu pada hari pelarungan sesaji di dua desa di Juwana, yaitu Desa Bendar dan Bajomulyo. Tahap-tahap prosesi larung sesaji:
1.    Perundingan panitia
Supaya acara dapat berlangsun secara baik maka maka para nelayan sudah secara khusus membentuk panitia yang bertugas menyusun jadwal dan agenda yang akan berlangsung selama acara pelarungan. Pembentukan panitia minimal dengan 25 orang panitia yang bertugas untuk kelancaran kegiatan.
2.    Malam Tirakatan
Pada tahap ini seluruh nelayan dan masyarakat yang berada dipesisir laut mengadakan tirakatan (tahlilan) dan pembuatan sesaji pada malam hari sebelum diadakannya pesta air. Sesaji berupa jajan pasar, kepala kerbau, pisang raja satandan dan buah-buahan serta kembang setaman, kemudian ditaruh didalam maniatur kapal.
3.    Pelarungan sesaji
Prosesi ini diawali dengan pawai drumband, barongan, barongsai, putra dan putri domas, dan sebagainya yang dipusatkan di alun-alun Juwana mulai dari jam 08.00 – 15.00. Kemudian arak-arakan (jalan kaki) dimulai dari alun-alun Juwana menuju kepelabuhan Juwana dan dilanjutkan dengn pelarungan sesaji dilaut. 
4.    Lomban
Acara setelah pelarungan di laut lepas, kegiatan dilanjutkan dngan acara perlombaan. Perlombaan di mulai dengan lomba balap dayung atau dilanjut dengan tangkap bebek di sungai. Perayaan lomba biasanya tergantung susunan acara yang dibentuk oleh panitia.
5.    Perayaan
Disamping lomba-lomba tadi tak lupa juga ada pertunjukkan seni tradisional Jawa. Pengadaan hiburan ini berlangsung selama satu minggu penuh setelah dilarungkannya sesaji. Ada wayang, ketoprak, dangdut, barongan dan hari terakhir selalu ditutup dengan pengajian atau santunan pada anak yatim. Perayaan biasanya yang paling rame adalah dangdut karena para donator menyawer penyanyi minimal Rp 20.000,00.
PROSESI SEDEKAH LAUT
Sedekah laut yang ada di Juwana hanya memiliki beberapa tahapan, yaitu:
1.      Sehari sebelum melakukan arak-arakan, masyarakat biasanya melakukan pengajian sebagai sarana untuk meminta kelancaran dan keselamatan terhadap serangkaian acara yang akan dilaksanakan.
2.      Arak-arakan besar keliling kota Juwana yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dengan berbagai budaya dan ciri khas daerah mereka, seperti membawa keliling patung replika ikan, jangkar, perahu, serta membawa beberapa sesaji, seperti tumpengan, kembang setaman, air suci, dan beberapa hasil laut.
3.      Setelah acara arak-arakan, biasanya diadakan perlombaan di tempat pelelangan ikan (TPI), seperti lomba volly, panjat pinang, dsb. Selain itu, juga diadakan “lomban” atau lomba naik perahu sampai ke Pulau Seprapat (Pulau yang berada diutara Juwana). Ketika lomba berlangsung, ada perahu khusus yang dibawa oleh panitia bersama seorang pamengku gati melakukan ritual pembuangan sesaji yang ditempatkan di perahu lain, kemudian perahu tersebut ditinggalkan di tengah laut (di larung di tengah laut).
4.      Hiburan Dangdut biasanya dilakukan pada saat perlombaan dan pada hari terakhir perayaan sedekah laut. Acara hiburan dangdut tersebut biasanya diadakan secara besar-besaran karena dianggap sebagai penutup acara.
NILAI YANG TERKANDUNG
Nilai merupakan kumpulan dari sikap, anggapan, atau sebuah pemikiran tentang baik buruk, benar salah suatu hal tertentu dan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda. Nilai-nilai yang terdapat dalam acara Sedekah Laut:
1.    Nilai sosial
Wujud dari nilai sosial dalam pranata masyarakat saat acara sedekah laut masyarakat sekitar yang secara bergotong royong dalam menggelar pelaksanaan kegiatan baik sebelum dan sesudah acara. Semua warga bekerja sama secara gotong royong dan guyup rukun dalam menyukseskannya.
2.    Nilai Agama
Tradisi sedekah laut ini diadakan sebagai sebuah simbolisasi supaya mendapat keselamatan saat melaut, serta rasa syukur para nelayan kepada Tuhan YME karena telah mendapatkan hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Dan sedekah laut yang jadi tontonan atau wisata rakyat yang paling ditunggu di Juwana
3.    Nilai ekonomi
Dalam pelaksanaan Acara Sedekah Laut menunjukkan tingkat perekonomian masyarakat pesisir. Jika perayaannya meriah dan banyak pengunjungnya, maka ihtu menandakan bahwa perekonomian mereka saat itu semakin meningkat. Dan harapannya, tingkat perekonomian mereka selalu meningkat seiring berjalannya waktu.
4.    Nilai Pendidikan
Dalam serangkaian prosesi acara sedekah laut memberikan banyak pelajaran terhadap generasi muda supaya senantiasa menjaga, memelihara dan melestarikan kebudayaan yang ada, serta saling menjaga kerukunan satu sama lain.
D. PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Budaya dalam agama di Indonesia sangat berkaitan sangat erat dengan agama Buddha, sebelum tradisi itu dilakukan sampai sekarang dengan mengorbankan hewan, menyiapkan sesaji, dan memberikannya pada leluhur tradisi tersebut sudah dilakukan pada kehidupan sang Buddha, suatu saat Y.M Sariputta bertanya kepada keponakanya apakah dia sudah melakukan perbuatan baik pada hari ini, dan keponakan Y.M Sariputta menjawab sudah melakukan perbuatan baik dengan mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan setiap bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan dating namun Sariputta menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta membawa keponakannya, seorang brahmana muda, menghadap kepada Sang Buddha. Dan sang Buddha memberikan kotbah biarpun selama seratus tahun seseorang menyalakan api pemujaan di hutan, namun sesungguhnya lebih baik jika ia, walaupun hanya sesaat saja, menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.
Dengan demikian agama Buddha tidak melarang segala bentuk pemujaan atau rasa syukur, namun agama Buddha selalu mengedepankan untuk memuja atau menghormat kepada seseorang yang sudah mempunyai pengendalian diri dengan baik atau seseorang yang pantas untuk dihormati. Pada saat melakukan penghormatan disetiap tradisi pasti menggunakan hewan sebagai persembahan, pandangan tersebut tidak selaras dengan ajaran sang Bhagava dan disisi lain ada makhluk yang dirugikan. Jika melakukan pemujaan atau persembahan sebaiknya di sisi lain tidak ada makhluk yang dirugikan dan menghormat kepada yang patut dihormati. Namun semua itu merupakan budaya lokal Indonesia yang merupakan kekayaan budaya Indonesia. Kita juga tidak bisa serta - merta melarang kegiatan tersebut untuk dilaksanakan, karena itu merupakan suatu hak kepercayaan yang telah diatur oleh undang - undang.
Tradisi sedekah laut merupakan sebuah bentuk rasa syukur yang hampir dimiliki banyak masyarakat pesisir di Nusantara. Tradisi sedekah laut dihelat sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas limpahan kekayaan laut yang dapat menghidupi para nelayan. Di Juwana tradisi sedekah laut dikenal dengan nama Pesta Lomba dan dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri atau Bulan Sura. Perayaan Sedekah Laut ini tidak hanya dirayakan oleh para nelayan saja tetapi juga diikuti oleh seluruh masyarakat dari orang tua sampai anak kecil. Mereka berbaur bersama untuk meramaikan pesta yang diadakan setahun sekali tersebut. Ketika perayaan Sedekah Laut digelar maka anak-anak akan mengenakan baju yang berwarna warni dan masyarakat akan bagun pagi hari untuk mempersipakan bebagai keperluan pesta kemudian mereka menuju perahu mereka masing-masing. Bunyi gamelan kebogiri mengalun sebagai tanda untuk memberangkatkan perahu. Di tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan air dari sesaji itu kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah saat mencari ikan nantinya. Dan sebagai umat beragama kita senantiasa menjaga kerukunan antar umat beragama dan saling menghormati supaya menjadi masyarakat yang harmonis.


Selasa, 20 Januari 2015

BUDDHA DHAMMA KONTEKSTUAL

PERCERAIAN DALAM BUDDHISME
Oleh: Lilik Sumarwi (0250113010529)
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Pernikahan merupakan masalah umum yang dihadapi oleh setiap orang, pernikahan diatur dalam undang-undang  didalam agama Buddha pernikahan dianggap sebagai persoalan pribadi setiap individu untuk memiliki kebebasan hidupnya. Maka dari itu pernikahan dalam agama Buddha tidak dianggap suci maupun tidak suci dan bukan merupakan sebuah larangan ataupun kewajiban suatu agama. Sebagai umat Buddha maka kita agar bisa membentuk keluarga bahagia kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, dalam hal ini Sang Buddha pernah bersabda:
“Inilah, O perumah tangga, empat jenis pernikahan.”
“Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan(saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (panna).” (Anguttara Nikaya II, 62)
Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami-istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni. Tetapi dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami-istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni atau berakhir degan perceraian. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.
Menurut Nasaruddin Umar (detik.com) bahwa, “Angka perceraian pada tahun 2014 sudah mencapai 354 ribu, ini sudah melewati angka 10% dari peristiwa pernikahan setiap tahun.” Data tersebut menunjukan bahwa kurangnya kesadaran tentang makna pernikahan dan menyelesaikan permasalahan dengan perceraian.
PEMBAHASAN
Pada masa globalisasi seperti saat ini pernikahan seperti dianggap sebagai permainan semata yang pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah tangga, karena suatu masalah dalam rumah tangga seharusnya diselesaikan dengan berbagai tahap dan menghasilkan sebuah jalan keluar. Jika tidak dapat menemukan suatu jalan keluar maka rumah tangga akan berujung dengan perceraian. Didalam rumah yangga masalah-masalah yang sering muncul antara lain;
1.    Masalah keuangan
Masalah keuangan atau ekonomi sangat rentan dalam pernikahan, karena uang digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Bagi suami maupun istri yang baru 1-5 tahun sangat berpengaruh dalam keluar, sehingga suami maupun beradaptasi dengan keungan yang mulai dibagi dengan pasangannya.
2.    Masalah komunikasi
Jika pasangan sudah memiliki masalah komunikasi sejak sebelum menikah atau masa-masa pendekatan sebelum menikah, maka kemungkinan besar problem yang satu ini akan menjadi semakin buruk setelah perkawinan.  Dalam situasi ini, yang penting masing-masing pihak memiliki niat untuk membahas secara terbuka masalah dan kelemahan masing-masing. Tanpa komunikasi dua arah, jika tidak maka perkawinan tak akan bertahan lama.
3.    Masalah seks
Seks merupakan bumbu-bumbu penyedap yang terdapat dalam perkawinan, seks merupakan bagian penting dalam perkawinan sekaligus juga bisa menjadi sumber banyak masalah dalam perkawinan. Setiap perkawinan membutuhkan proses penyempurnaan antara lain dengan aktivitas bercinta.  Kegagalan dalam kehidupan seks yang sehat dan adanya jurang frekuensi hubungan seks atau seks yang tidak berkualitas, bisa menjurus pada hancurnya perkawinan.
4.    Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Kekerasan atau penyiksaan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun tidak bisa diterima dalam perkawinan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan dalam kata-kata, kekerasan ini terjadi karena adanya masalah yang diselesaikan dengan emosional tanpa perbincangan yang lebih mendalam. Kedua kekerasan tersebut sering menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
5.    Masalah ekspektasi
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan sering tergantung pada adanya harapan-harapan yang begitu banyak tanpa dipahami dengan realistis dari masing-masing pihak terhadap pasangannya. Jika ada harapan-harapan romantisme yang terlalu muluk-muluk dan tidak realistis, maka hal tersebut bisa menjadi pangkal dari keretakan suami-istri.  Agar perkawinan dapat bertahan, memang dibutuhkan tingkat kedewasaan dari suami mapun istri
Setelah mengetahui masalah-masalah yang akan diajukan kepengadilan agama, selanjutnya menunggu proses pengadilan, “Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima berkas/surat gugatan perceraian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim. Dalam menetapkan waktu persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negara, maka sidang pemeriksaan gugatan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu pada kepaniteraan pengadilan (Pasal 29 ayat (1) s.d ayat (3) PP 9/1975). Jika tanpa Advokat pada umumnya proses perceraian akan memakan waktu maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama.” Hilman Hadisukuma, S.H (Hukum Perkawinan Indonesia:175)
Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua. Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya yang membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan menurut Dhamma dan menjadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain gagal. Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga, seberapapun beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha. Dalam kitab Vinaya Pitaka ada sebuah kisah:
“Ketika itu seseorang wanita bertengkar dengan suaminya lalu kembali ke rumah ibunya. Seorang bhikkhu yang kerap mengunjungi keluarganya berupaya mendamaikan (mereka) kembali. Muncul penyesalan pada dirinya…
“Bhikkhu, apakah dia sudah diceraikan?”
“Belum diceraikan, Bhagavan.”
“Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran dalam hal belum diceraikan.”
Bukanlah merupakan suatu pelanggaran apabila seorang bhikkhu berusaha mendamaikan seorang wanita yang bertengkar dengan pasangannya. Maka dari itu, usaha bhikkhu tersebut patut dicontoh oleh kita, bahwa perceraian seharusnya dhindari dan pertengkaran atau permasalahan di antara pasangan sebisa mungkin diselesaikan dengan baik-baik. Dari sana bisa dilihat bahwa ajaran sang Buddha sangat mendukung usaha untuk mendamaikan kembali pasangan yang bertengkar ataupun yang telah cerai. Cerai akan dapat membawa penderitaan bagi anak-anak mereka dan menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua orang pasangan suami istri.
Apabila menjelang tua, cinta suami istri menjadi tawar, ini bukanlah suatu alasan untuk bercerai. Ketika cinta, kita menikah, ketika sudah tidak cinta, kita cerai. Apakah begitu? Di manakah komitmen kita kalau kita cerai hanya karena alasan seperti itu? Ketika cinta sudah mulai terkikis, bukan berarti kita tidak bisa jatuh cinta lagi dengan pasangan hidup kita. Seperti dalam Kanha Dipayana Jataka, Khuddaka Nikaya:
Mandavya bertanya pada istrinya kenapa ia tidak meninggalkan (menceraikan) dirinya padahal ia tidak mencintainya. Istrinya menjawab bahwa bagi wanita yangtelah menikah, tidak patut untuk mencari pasangan baru karena akan menurunkan derajat moral orang lain dan oleh karena alasan inilah ia tidak meninggalkan (menceraikan) suaminya meskipun sebenarnya ia tidak merasa bahagia. Setelah itu sang istri meminta maaf dan Mandavya menerima maafnya. Mandavya berjanji tidak akan membuat istrinya bersedih dan juga membuat istrinya berjanji untuk tidak kasar pada dirinya. Sejak saat itu sang istri menjadi mencintai Mandavya.
Dalam kitab Ruhaka Jataka, dikisahkan seorang istri yang penuh tipu daya membuat malu suaminya (Ruhaka) di hadapan raja. Sang raja yang merupakan kelahiran lampau Sang Bodhisatta, begitu mengetahui bahwa Ruhaka hendak menceraikan istrinya karena ia dipermalukan oleh tipu daya wanita tersebut, berkata pada Ruhaka agar ia memaafkan kesalahan istrinya. Namun Ruhaka Tidak mau mendengarnya dan kemudian menceraikan istrinya tersebut serta mengambil istri lain.
Di sini bisa dilihat bahwa meskipun suami atau istri kita adalah seorang yang tidak berbudi baik, maka sesuai nasehat Sang Bodhisatta, kita harus mencoba untuk memaafkannya, memahaminya dan membuatnya berubah, jadi jangan langsung minta cerai. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.
KESIMPULAN
Buddha mengajarkan umatnya untuk berani bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri yang dilakukan, tidak boleh “Lempar Batu Sembunyi Tangan”. Kesalahan Fatal manusia ialah suka mencari ‘Kambing Hitam’, kalau sudah terjadi kasus yang menimpa dirinya, apalagi yang menyakitkan dan membawa penderitaan. Padahal dirinya sendiri yang membuatnya, namun manusia tak mau menerima akibat yang menimbulkan penderitaan.
Perceraian tidak akan menjadi ‘DOSA’ dalam ajaran Buddha Gotama, tapi konsekuensi atau akibat yang akan dipikul bersama dalam hidup rumah tangga (suami dan istri). Sedikitnya beban psikologis kedua pihak baik suami atau istri, misalnya menanggung Malu, dipandang rendahan oleh masyarakat yang mengetahuinya. Apalagi kalau sudah punya anak, bebannya makin berat, selain menularkan dampak negatif kepada anak yang belum tahu apa-apa. Juga dimata anak-anak orangtua akan dibenci, tidak layak dihormati. Dan memberi contoh suritauladan yang buruk, apalagi anaknya perempuan, akan lebih trauma.
Banyak anak-anak korban broken home (Perceraian) yang kelak dewasa jadi brutal, pergaulan bebas, narkoba, anak jalanan, penjudi, pemabuk, dsb. Semua itu menurut anak-anak adalah tempat khusus Pelampiasan secara psikologi anak-anak yang trauma korban perceraian. Masa depan anak-anak kadang terabaikan oleh orangtua yang menjadi korban perceraian, dalam hal ini bagi pasangan suami istri yang mendapat masalah rumah tangga, sebaiknya konsultasi dengan dokter psikologi, atau para sesepuh yang banyak pengalaman dalam hidupnya. Untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Andaikata suami selingkuhpun, ada baiknya istri harus menerima sebagai konsekuensi untuk memaafkan, sebagai istri yang cinta sepenuh hati dan setia sampai mati. Demikian pula sebaliknya, hanya yang perlu diingat ialah “Jangan Terus Diulangi Lagi”. Inilah jalan satu-satunya yang indah dan berharga dalam kehidupan rumah tangga.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia (ITC). Mandar Maju: Bandung
Hardi, E. 1999. Angutara Nikaya. The Pali Text Society: Oxford
Khuddaka Nikaya. The Pali Text Society: Oxford
Thitayanno. 2008. Vinaya Pitaka. Indonesia Tipitaka Center: Medan



Patriak Keenam


2.1.  Sejarah Patriark Huineng
Dajian Huineng (Hanzi tradisional: ; Hanyu Pinyin: Dàjiàn Huìnéng; Bahasa Jepang: Eno Daikan; Bahasa Korea: Hyeneung, 638-713) adalah Patriak keenam dan terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen. Huineng lahir dalam keluarga Lu pada tahun 638 M di kota Xing di provinsi Guangdong. Ayahnya meninggal ketika ia masih muda dan semenjak itulah Huineng hidup dalam kemiskin, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar membaca ataupun menulis. Suatu hari, seorang pelangganya membeli kayu bakarnya. Karena banyak pembeli itu menyuruh Huineng untuk mengantarnya, setelah ia menyampaikan kayu bakar kepenginapan, di tengah perjalanan pulang ia mendengar seseorang membacakan Sutra Intan yang berbunyi “Biarkan pikiran berfungsi dengan bebas dan jangan melekat pada apa pun.” Serta merta setelah Huineng mendengar baris-baris yang diucapkan seseorang itu ia mengalami kesadaran dan memahami makna dari baris sutra tersebut. Sesampainya di rumah, Huineng memikirkan hal tersebut dan segera memutuskan untuk mencari jalan kebuddhaan. Huineng memulai perjalanannya, setelah melakukan perjalanan selama tiga puluh hari dengan berjalan kaki, Huineng tiba di Gunung Huangmei di Provinsi Henan, di mana Patriak Kelima Hongren tinggal. Setelah Huineng bertemu Patriak, kemudian Patriak bertanya darimana beliau datang dan apa yang harapkan darinya. Huineng menjawab, “Saya orang biasa yang berasal dari Xinzhou di Lingnan. Saya telah melakukan perjalanan jauh untuk berjumpa dengan anda, dan saya tidak meminta apapun selain mencapai kebuddahan.” Patriak lanjut berkata, “ Jadi kamu berasal dari Lingnan, tempat orang-orang tak beradab. Bagaimana anda mengharapkan akan dapat menjadi seorang Buddha?”. “orang boleh berasal dari Utara atau Selatan. Tetapi jangan katakana benih kebuddhaan ada di Utara atau Selatan. Tubuh orang beradab ini boleh saja berbeda dengan tubuh Yang Mulia, tetapi apa bedanya jika dilihat dari sudut pandang hakikat kebuddhaan.” Jawab Huineng. kemudian Patriak Kelima Hongren langsung menerima Huineng sebagai muridnya, dan memutus Huineng untuk melakukan pekerjaan untuk membelah kayu dan menggiling beras selama delapan bulan.
Suatu hari, Hongren mengumumkan pertanyaan tentang kelahiran kembali yang berulang-ulang adalah satu hal penting. Hari demi hari, seharusnya kamu berusaha untuk membebaskan diri dari samudera kehidupan, kematian dan untuk dapat melanjutkannya hanya dengan karma, contoh: karma yang menyebabkan kelahiran kembali. Namun karma tidak akan membantu jika kamu tidak mengerti esensi dari pikiran. Pergi dan carilah Prajna (kebijaksanaan) dalam pikiran anda sendiri dan kemudian tuliskan hal itu kedalam sebuah bait (gatha). Dia yang mengerti apa yang dimaksud dengan Esensi dari Pikiran, dia yang akan menerima jubah (lambang dari ke-patriak-an) dan Dharma (ajaran utama sekolah Chan), dan aku akan membuatnya menjadi seorang Patriak Keenam. Pergilah cepat, Janganlah menunda menuliskan bait-bait, karena perundingan sangatlah tidak diperlukan dan tidak berguna. Orang yang telah menyadari Esensi dari pikiran dapat berbicara tentang hal itu sekaligus, segera setelah ia berbicara tentang hal itu; dan dia tidak bisa melupakan, bahkan ketika terlibat dalam suatu pertempuran. Namun, para murid berkata satu sama lain bahwa mereka tidak perlu menuliskan gatha, dan yang pasti guru sekaligus kepala bikkhu yang mulia Shenxiu, yang akan menjadi Patriak Keenam. Jadi hanya Shenxiu yang menulis gatha untuk Hongren. Sebagai bikkhu kepala, Shenxiu sangat dihormati dan di bawah tekanan besar untuk menghasilkan sebuah gatha yang akan memenuhi syarat dia sebagai patriak berikutnya. Akan tetapi, Shenxiu tidak percaya tentang pemahamannya sendiri, dan akhirnya memutuskan untuk menulis puisi secara anonim di dinding pada tengah malam, dan mengumumkan kepemilikannya hanya jika disetujui Hongren. Puisi itu berbunyi:

Tubuh adalah adalah pohon pencerahan
Pikiran adalah tempat berdirinya cermin bersih
Gosoklah setiap hari tanpa henti
Agar tetap bersih dari debu keduniawian (Hening Budi Senyata, 2009: 31)

Ketika Hongren melihat hal itu, dia mengatakan kepada mereka, “Praktik menurut gatha ini, kamu tidak akan jatuh ke dalam alam yang jahat, dan kamu akan menerima manfaat besar. Nyalakan dupa dan hormati gatha ini, lafalkan dan kamu akan melihat sifat dasar dirimu sendiri. Semua murid memuji dan menghafalkan gatha tersebut”. Namun, secara diam-diam Hongren berkata kepada Shenxiu, “Kamu telah tiba di pintu gerbang, tetapi belum masuki gerbang itu. Dengan tingkat pemahamanmu, kamu masih tidak tahu apa itu pikiran pencerahan tertinggi. Setelah mendengar kata-kata saya, kamu harus segera mengenali pikiran murni, sifat dasarnya, yang belum lahir dan yang terus menerus. Setiap saat, lihatlah dengan jelas dalam setiap pemikiran, dengan pikiran yang bebas dari segala rintangan. Dalam Satu Realita, semuanya adalah nyata, dan semua fenomena yang ada adalah sama adanya.” Hongren menyuruh kepada Shenxiu untuk membuat gatha lain yang menunjukkan tentang pemahaman yang sesungguhnya. Shenxiu berusaha keras tetapi tidak mampu membuat dengan ayat lain. Ketika seorang bikkhu muda melewati penggilingan padi dan menyanyikan gatha Shenxiu, Huineng segera mengetahui bahwa ayat tersebut tidak memiliki pemahaman yang benar. Huineng pergi ke dinding, dan bertanya kepada seorang petugas di sana untuk menulis puisi baginya. Petugas itu terkejut, “Bagaimana mungkin! Kamu buta huruf, dan kamu ingin menulis puisi?” Huineng lalu berkata, “Jika kamu mencari pencerahan tertinggi, jangan pernah meremehkan orang lain. Orang kelas terendah mungkin memiliki wawasan yang besar, dan kelas tertinggi dapat melakukan tindakan bodoh.” Dengan perasaan memuja, petugas itu menulis gatha Huineng di dinding, di samping gatha Shenxiu, yang menyatakan:

菩提本無樹,
明鏡亦非台;
本來無一物,
何處惹塵埃?
Pada hakikatnya tidak ada pohon pencerahan
Pun tidak ada pula cermin bersih dan tempat berdirinya
Karena sedari awal semuanya itu kosong
Dimana debu akan melekat? (Hening Budi Senyata, 2009: 34)

Setelah menulis sajak tersebut Huineng lalu kembali ketempat kerjanaya untuk menumbuk padi. Namun, gatha ini membuat kehebohan yang lebih besar, semua orang berkata, “Luar biasa! Kamu tidak boleh menilai orang hanya dari tampangnya! Mungkin dia akan menjadi bodhisattva hidup segera!” Namun, ketika Hongren yang terkejut keluar, ia hanya santai berkata, “Gatha ini juga belum mampu menjelaskan esensi murni yang sesungguhnya,” lalu melanjutkan menghapus gatha dengan sepatunya dan suatu malam Hongren menerima Huineng di kediamannya, dan menguraikan Sutra Intan kepadanya. Ketika ia sampai pada bagian, “Untuk menggunakan pikiran namun terbebas dari keterikatan,” Huineng sampai kepada pencerahan besar, bahwa semua dharma tidak bisa dipisahkan dari sifatnya. Dia berseru, “Betapa menakjubkan bahwa sifat diri awalnya murni! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak dilahirkan dan tidak mati! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri secara inheren lengkap! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak bergerak maupun tidak diam! Betapa menakjubkan bahwa semua dharma berasal dari sifat ini sendiri!”. Kemudian Sesepuh Hongren menyerahkan jubah warisan kepada Huineng, dan berkata, “Mulai saat ini engkau adalah sesepuh keenam. Jaga dirimu baik-baik dan pergilah bersembunyi terlebih dahulu sebelum engkau menyebarkan ajaran.” Sesepuh Hongren melanjutkan, “Keputusanku mewariskan jubah kepadamu akan menimbulkan ketidakpuasan dan iri hati. Karenanya, engkau mesti cepat-cepat meninggalkan tempat ini.” Sesepuh Hongren pun membantu membawa Huineng keluar dari biara itu. Ketika Hongren berkata, “Mari aku seberangkan”, Huineng pun menyambutnya, “Ketika seorang murid masih dipenuhi kekotoran batin adalah tugas gurunya untuk menyeberangkannya. Pada saatnya ia telah mencapai pencerahan, ia sendirilah yang akan menyeberangkan dirinya”. Sesepuh Hongren kembali menyatakan dan memberikan nasehatnya, “Dimasa-masa yang akan datang, Dharma akan tersebar luas melalui kamu. Pergilah ke Selatan. Dharma tidak mudah disebarluaskan. Tunggulah hingga saatnya matang sebelum menyebarkannya.” Huineng yang sangat menghormati gurunya tersebut menjawab, “Terima kasih Guru atas nasihatnya”.
Setelah bersembunyi sekian lama, Huineng merasa sudah waktunya untuk menyebar luaskan Dharma yang telah ia terima dari Patriak Hongren. Oleh karenanya ia pun pergi ke sebuah Vihara Fa Xing di Guangzhou. Tepat pada saat di Vihara tersebut, Guru Yingzou tengah menguraikan kitab Mahaparinirvana. Huineng pun duduk ditengah-tengah para murid lainnya. Beberapa saat kemudian, saat Guru Yingzou sedang membabarkan kitab tersebut, angin kencang berhembus. Panji-panji Vihara pun melambai-lambai tersapu angina. Salah orang murid berkata, “Lihat anginnya bergerak!” pernyataan itu pun dibantah oleh murid lainnya, “Bukan, bukan anginnya yang bergerak, panji-panji itulah yang bergerak!” yang pertama pun tidak mau mengalah begitu pula dengan yang kedua sehingga muncul perdebatan apa menggerakkan apa. Mendengar perdebatan itu, Huineng muncul dan berkata, “Saudaraku, yang bergerak bukan angina, bukan pula panji-panji itu. Yang bergerak adalah pikiran kalian berdua.” Semua yang hadir di Vihara tersebut Nampak kaget. Guru Yingzou yang mendengar perkataan Huineng langsung mengundangnya kedepan. Katanya kemudian, “Saudaraku, pandanganmu mempunyai lingkaran kebenaran. Bersediakah saudara berbicara barang sedikit tentang Dharma?”
“Baiklah,” sahut Huineng. “Saudara-saudara, hakikat kebenaran itu ada dua sisi. Yang satu tidak berubah, yang satunya lagi berubah sesuai dengan keadaan. Kebuddhaan ada diatas yang berubah dan yang tidak berubah, mengatasi baik dan buruk.” Mendengar apa yang dikatakan Huineng, Guru Yingzou berkomentar, “Penjelasan saya dibandingkan dengan penjelasanmu tidak berharga sama sekali.” Penjelsanu bagaikan emas.” Guru Yingzou berhenti sejenak, lalu berkata lai, “Saya dengar bahwa jubah Patriak Hongren sudah berada diwilayah Selatan bersama waris ahlinya. Apakah benar anda ini penerus patriak kelima?” Huineng berkata, “Maaf, saya tidak dapat mengatakannya.” Namun begitu Guru Yingzou mersa yakin bahwa Huineng adalah penerus Patriak kelima sekaligus menjadi pewarisnya. Diapun segera memberi hormat kepada Huineng dan memintannya untuk menunjukkan jubah warisan Patriak Hongren. Huineng tidak dapat berbuat banyak maka dia pun mengeluarkan jubah peninggalan Hongren dan menunjukakkannya kepada Guru Yingzou. Guru Yingzou begitu melihat jubah langsung berlutut dan berkata, “Kami semua memberi hormat kepada Patriak keenam.” Semua murid pun langsung mengikuti apa yang dilakukan Guru Yingzou, kemudian Guru Yingzou kembali bertanya, “Guru, apa yang telah diberikan Patriak Hongren kepadamu?” huineng menjawab, “Patriak Hongren tidak memberikan sesuatu apa.” Kami hanya berbincang-bincang tentang soal mengamati Bodhi.” Guru Yingzou bertanya, “Jadi patriak Hongren tidak mengajari tentang soal Samadhi dan Pembebebasan. Sahut Huineng, itu sama saja dengan keserbaduaan. Perlu sekalian ketahui bahwa watak asal Buddha adalah Buddha, Dharma yang bukan keserbaduaan.” Guru Yingzou merasa bahagia begitu mendengar Huineng dan kembali memberikan hormat padanya. Segera setelah pertemuan itu Guru Yingzou mencukur rambut Huineng dan menginisiasinya menjadi Biksu. Selain itu, guru Yingzou memohon kepada Huineng untuk menjadi muridnya. Semenjak itu pula Huineng memulai kewajibannya sebagai Guru Zen dimulai dari Vihara Fa Xing di Guangzhou, kemudian di Viharanya sendiri Vihara di Caoxi yang ia dikirikan beberapa tahun setelah ia menjadi Patriak. Delapan bulan sebelum kematiannya, ia memperkirakan kematiannya; Kemudian, disertai dengan banyak mujizat, ia meninggal pada tahun 713. Beliau memilih jalan pencerahan tertinggi dengan duduk bermeditasi selamanya. "Jasad" beliau tidak membusuk serta fisik atau badan masih seperti orang hidup padahal beliau sudah duduk 1300 tahun lebih. Relik tubuh ini kini tersimpan di Vihara Nan Hua China.
Kemudian Huineng menjadi pendiri Zen yang menekankan bahwa pencerahan adalah mengingat guru yang tepat dan metode. Zen umumnya dipahami sebagai semacam meditasi yang diarahkan ke beberapa pemikiran tetap; di Buddhisme Hinayana hanya pikiran yang sementara, sedangkan di Mahayana itu lebih sering doktrin kekosongan. Ketika pikiran telah begitu dilatih untuk dapat mewujudkan keadaan yang sempurna kekosongan di mana tidak ada jejak kesadaran yang tersisa, bahkan rasa menjadi sadar setelah berangkat; dengan kata lain, ketika segala bentuk aktivitas mental yang tersapu bersih dari bidang kesadaran, meninggalkan pikiran seperti langit tanpa setiap setitik awan, biaya yang luas hanya biru, Zen dikatakan telah mencapai kesempurnaannya. Patriak keenam menekankan non-dualitas dan kesatuan dari segala sesuatu. Setelah kematiannya, karya-karyanya dikumpulkan dan diklasifikasikan sebagai satu-satunya sutra Buddhis China, yang disebut The Patriak Keenam Platform Sutra. Murid Huineng yang menyebarkan Dharma di seluruh Asia. Huineng didefinisikan sebagai: "Di tengah-tengah semua kebaikan dan kejahatan bukan pikiran terangsang dalam pikiran - ini disebut Sitting Melihat ke sifat asli seseorang, tidak sedang bergerak sama sekali."
2.2.  Ajaran Patriak Huineng
 Menurut pendapat Hening Budi Senyata (2009: 42) Patriark keenam Huineng mewariskan banyak sekali ajaran yang terangkum ke dalam 10 bagian, yang dirangkum oleh muridnya bernama Fa Hai. Berikut beberapa kutipan ajaran penting Huinen;
1.    Tidak Bergantung pada Kata-Kata
Seseorang tidak seharusnya percaya buta pada kat-kata dalam kitab suci atau mempunyai pemikiran bahwa petunjuk yang diberikan oleh orang lain dapat membawanya pada kebebasan. Namun, jika seseorang benar-benar menyingkir dari kata-kata, maka sesungguhnya pendapat “Tidak bergantung pada kata-kata” haruslah dilenyapkan juga karena bagaimana pun juga itu adalah tetap kata-kata. Pikiran adalah bahasa tanpa kata-kata, sedangkan kata-kata adalah symbol bahasa. Saat pikiran dan kata-kata tumpeng tindih, keduanya menjadi rintanagan menuju kepada kebijaksanaan.
2.    Langkah Langsung Mengarah pada Pikiran
Karena pikiranlah, kita mempunyai pandangan tentang diri dan aku. Karena pikiran jugalah, kita terlibat dalam penderitaan. Dimana tidak ada pikiran, tidak ada yang namanya kebaikan dan kejahatan, untung atau rugi, ketidaktahuan atau kebijaksanaan, pencerahan atau penderitaan.
3.    Mencapai Kebuddhaan
Orang yang mengabdi pada pikiran-pikiran yang buruk menjadi seperti seekor ular berbisa. Sedangkan, orang yang memiliki pikiran penuh dengan welas asih akan menjadi Bodhisatva. Orang condong pada ketidaktahuan dan tidak mengenal kebajikan akan mengikuti kegelapan, ia tidak akan mencapai jalan, tetapi saat orang memasuki pintu kebajikan, kebajikan akan muncul seiring dengan kesadaran akan muncul seiring dengan kesadaran bahwa kebuddhaan ada dalam dirinsetiap orang.
4.    Tidak Lekat
Orang seharusnya menjaga pikiran agar tidak terusik dan tidak terpengaruh oleh fenomena di sekitarnya. Jika pikiran tidak lagi tergoyahkan, pikiran tidak akan diperbudak oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Singkirkan dualisme dalam segala sesuatunya dan jangan biarkan pikiran terceramari bahkan oleh noda sekecil apapun.
5.    Hakikat Kebuddhaan: Bodhi Nature
Hakikat kebuddhaan sejatinya jernih dan murni. Dengan hanya menggunakan pikiran kekinian, orang secara langsung akan mengarah pada kebuddhaan.
6.    Orang Bijaksana Dan Orang Bodoh
Seseorang memerlukan seorang guru yang berpengetahuan luas untuk menjelaskan dan membimbingnya menuju kesejatian. Seseorang harus paham bahwa hakikat kebuddhaan adalah sama dalam diri orang yang bijaksana, perbedaan antara orang yang bijaksana dan orang yang bodoh hanya semata-mata terletak pada apakah orang itu mempunyai pikiran yang tersesat ataukah mempunyai pikiran yang terjaga.
7.    Hakikat Kesejatian
Hakikat kesejatian adalah Buddha. Tak ada Buddha yang terpisah dari hakikat ini.
8.    Kekosongan
Hakikat kesejatian bisa mencakup segala sesuatunya inilah kebesarannya, seluruh Dharma ada dalam hakikat diri kita jika kita melihat semua kebaikan dan kejahatan dalamdiri seseorang tanpa menerima atau menolak, tanpa melekat atau tercermarkan dengan pikiran seperti alam raya kekosongan.
9.    Kapasitas Pikiran
Kapasitas pikiran itu seluas ranah Dharma. Dengan menggunakannya secara komprehensif di mana pun penerapannya, ini akan menjadi orang memahami segala sesuatunya. Segala sesuatu itu satu adanya sebagaimana satu itu adalah segala sesuatunya. Pikiran bisa kemana saja tanpa rintangan dan itulah kebijaksanaan.
10.    Pencerahan Langsung
Sekali orang mempunyai pikiran yang tersesat, ia akan menjadi orang biasa. Namun, sekali seseorang mempunyai pikiran yang tercerahkan, dia menjadi Buddha. Letak pada objek perasaan merupakan awal kejengkelan; sementara terbebas dari objek perasaan merupakn Bodhi.
11.    Tak Ada Pikiran
Tak ada pikiran adalah melihat segala sesuatunya tanpa keterikatan atau kebebasan. Jika seseorang menggunakannya, pikiran ada dimana-mana meski tidak berdiam disuatu tempat.
12.    Kesalahan Siapa?
Seseorang penanam sejati tidak melihat kesalahan orang lain. Jika kita melihat kesalahan orang lain, kita sendiri yang bersalah.
13.    Berlatih Kebijaksanaan (Prajna)
Disetiap waktu, disetiap tempat, tanpa adanya satu titik pikiran kebodohan, selalulah bertindak dalam kebijaksanaan.
14.    Tanduk Kelinci
Buddha Dharma ditujukan untuk dunia ini. Tak ada perpecahan yang terpisah dari dunia ini, melihat Bodhi terpisah dari dunia ini sama halnya seperti mencari tanduk pada seekot kelinci.
15.    Masalah Keduniawian
Memiliki pandangan yang benar melebihi masalah keduniawian, sedangkan memiliki pandangan yang keliru terjebak dalam masalah keduniawian.
16.    Apa Itu Meditasi Zen?
Mencapai kedamaian batin itulah Samadhi jika kita terikat oleh objek-objek luar, tidak aka ada kedamaian batin. Menjadi bebas dari keterikatan adalah mencapai kedamaian pikiran, hakikat inti secara intrinsic adalah murni dan berada dalam Samadhi. 
2.3.  Pengaruh Patriak Huineng
Huineng adalah sosok figure revolusioner bagi Buddhisme Zen China. Sementara para Guru lain adalah sosok yang terpelajar dalam soal ajaran para Buddha, Huineng adalah sosok yang tidak terpelajar bahkan buta huruf meski dia mempunyai intuisiyang sangat tajam. Sementara guru-guru lain menetap dalam vihara-vihara yang ternama, Huineng harus bersembunyi selama beberapa tahun dan secara perlahan-lahan mengusahakan diterimanya ajarannya oleh masyarakat. Sementara di India, ajaran Zen diturunkan langsung pada satu orang saja, Huineng berkeputusan mengubah tradisi dan menurunkan ajaran Zen secara luas. Sementara guru lain mengajar dengan bahasa yang rumit dengan istilah-istilah Buddhis yang susah, Huineng menggunakan bahasa yang sederhana, dengan kata-kata langsung yang bisa dipahami oleh banyak orang namun tanpa kehilangan esensinya.
Huineng mempunyai sejumlah banyak murid yang telah cerah pikirannya, yang sejalan dengan kepribadian mereka yang berbeda-beda mengajarkan Zen dengan metode yang berbeda-beda ke seluruh penjuru China. Zen menjadi begitu populer dan di akhir abad ke-10, telah terbentuk lima aliran utama Zen yaitu; Aliran Linji (dalam bahasa Jepangnya Aliran Rinzai), Aliran Caodong (dalam bahasa Jepangnya aliran Soto), Aliran Guiyang, Aliran Yunmen, dan Aliran Fayan. Meski telah muncul lima aliran utama Zen, esensi dari ajaran mereka sama dengan aliran-aliran Buddhis lainnya, yaitu mencapai pencerahan sempurna. Selama Dinasti Song (abad ke-10 sampai dengan abad ke-12), Zen telah berkembang di Korea, Jepang, dan Vietnam. Masing-masing negara menghasilkan garis keturunan guru mereka sendiri-sendiri, smentara itu dari lima aliran utama Zen yang masih tersisa adalah Aliran Linji dan Aliran Caodong. Semua dari semua bentuk latihan Zen di dunia sekarang ini mempunyai akar pada ajaran Patriak Keenam Huineng.
2.4.  Zen Buddhisme
Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transimi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa. Awal teks Zen penting, mengaku menjadi ajaran Hui-neng Patriak keenam Zen (638-713). Sedangkan Platform Sutra adalah satu-satunya teks Buddhis disebut sutra namun tidak dianggap sebagai kata-kata Sang Buddha. Namun, menurut pemahaman Zen, seorang guru Zen tercerahkan tidak berbeda dari seorang Buddha dan karena itu khotbah dapat dianggap sebagai sebuah sutra. Platform Sutra dibagi menjadi dua bagian, account otobiografi kehidupan awal Patriak Keenam dan pencerahan dan khotbah yang disampaikan oleh Patriak kepada murid-muridnya. Bagian otobiografi termasuk ajaran yang terkenal dari kontes puisi yang meyakinkan Patriak kelima untuk menunjuk Huineng sebagai pewaris Dharma dan Patriak Keenam. Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran dari ketergantungan terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami kepada pikiran sejati kita sendiri. Dalam Zen kehidupan tidak untuk dirumuskan dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan antara apa yang boleh dan yang tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan kepada tumbuhnya cahaya kebajikan dari pikiran sejati, bukan dari segala jenis pengetahuan tangan kedua.
Sedangkan didalam ajaran yang diajarkan oleh Huineng tersebut terdapat  empat keistimewaan Zen sebagai berikut;
1.    Aspek tradisional Budhisme tidak dihiraukan
Zen mengarah kepada kebuddhaan secara langsung, dimengerti diluar tradisi tertulis, gambar-gambar, arca-arca, kitab suci, upacara, dan tata cara tidak diperhatikan. Zen berpendapat: Apa gunanya menghitung kekayaan orang lain, sebab memandang sifat pembawaan pribadi itulah Zen;
2.    Bertentangan dengan aspek spekulasi metafisika
Pengikut Zen tidak menghabiskan waktu didalam perenunngan metafisika bahkan mereka berusaha untuk menghilangkan penggunaan akal (rasio). Zen lebih mengutamakan pandangan terang secara langsung dari pada ajaran-ajaran yang sukar diketahui dan dimengerti. Kebebasan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Bhiksu Hsuan Chien mencapai penerangan sewaktu melihat gurunya memadamkan api lilin;
3.    Penerangan serta merta atau Satori
Menurut Hui Neng, mencapai penerangan bukan dengan cara berangsur-angsur tetapi merupakan suatu proses seketika itu juga, ini sering disalah artikan dan bukan berati proses persiapan sama sekali tidak ada dan tidak diperlukan. Demikian juga dengan penerangan yang berati dapat dicapai dengan waktu yang singkat. Mengharapkan dengan melalui cara hidup yang amat sederhana atau meditasi adalah seperti “menggosok batu bata agar dapat dijadikan cermin”, bukanlah pengumpulan pahala yang mengakibatkan penerangan, tetapi dengan suatu pengenalan sifat diri sendiri semata-mata;
4.    Proses penyangkalan
Kaum Zen berpendapat bahwa kehidupan Buddhis hanya dapat dipenuhi dalam proses penyangkalan. Sang Buddha berada dalam kehidupan sehari-haridan hal tersebut seharusnya dipandang sebagai datang dan perginya secara bebas dan tidak terikat, itulah yang dimaksud dengan pandangan luhur. Jikalau seorang hendak berjalan, berjalanlah! Apabila seorang hendak duduk, duduklah!
Zen merupakan suatu perkembangan metafisika mahayana yang disesuaikan dengan prajna paramita dan konsep yogacara serta dipengaruhi unsur-unsur Confucianisme dan Taoisme serta dibina dan dibentuk kembali menurut kondisi dan situasi negeri tiongkok, Korea dan Jepang. Zen Buddhisme merupakan sebuah aliran dalam agama Buddha yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen diasosiasikan sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena kata-kata tidaklah identik dengan kebenaran. Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari telunjuk dan bulan. Kata-kata hanya digunakan untuk menunjuk kebenaran yang berada diatas kata-kata. Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran dari ketergantungan terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami pada sejati diri kita sendiri. Dalam Zen, kehidupan tidak untuk dirumuskan dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan anatara apa yang boleh dan yang tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan pada tumbuhnya cahaya kebajikan dari pikiran sejati.
2.5.   Guru Zen Buddhisme
Huineng adalah sesepuh zen tiongkok yang terakhir, karena sejak dari Master Huineng sudah tidak ada pewarisan jubah seperti pendahulunya. Ajaran yang dikaitkan dengan Huineng di Platform Sutra tempat penekanan pada kebangkitan mendadak (dun wu), tidak ada pikiran (wu xin, yang bebas dari konseptualisasi), kebijaksanaan prajna dari Prajnaparamita Sutra (Sutra Intan), klaim bahwa segala sesuatu yang kosong esensi (Sunyata) termasuk benar sifat Buddha seseorang (Sutra Nirvana), dan identitas kebijaksanaan dan fokus konsentrasi. Bergema Heze Shenhui, ia mengatakan bahwa orang-orang bakat yang lebih rendah mengejar jalan bertahap, dan orang-orang bakat spiritual yang lebih besar mengambil jalan tiba-tiba, tetapi kebenaran itu sendiri tidak tiba-tiba atau bertahap.
Sebagai akibat dari manuver politik Heze Shenhui, murid Huineng, Huineng dinyatakan Patriak keenam resmi Chan Buddhisme. Pada awal abad kesembilan, sudah ada banyak "rumah" dari Chan. Orang Cina menempatkan tekanan besar pada silsilah, dan melihat ini di Chan baru, yang disebut "Patriaki chan." Bapa-bapa leluhur mulai dengan Bodhidharma sebagai Patriak pertama di Cina dan mencapai puncaknya dengan Huineng, Patriak keenam. Karena melalui Huineng masing-masing sekolah Chan bisa menghubungkan diri kepada Sang Buddha, metode untuk legitimasi adalah untuk menghubungkan sendiri "rumah" dengan murid-murid Huineng. Ada dua murid Huineng tentang siapa yang sangat kecil itu dan dikenal. Kedua nama disediakan link yang diperlukan. Salah satunya adalah Nanyue Huaijing (677-744) dan lainnya Chingyuan Xingsi (660-740). Masing-masing cabang yang masih hidup Chan Buddhisme trek silsilah dan legitimasinya sendiri melalui dua nama ini, mungkin dengan membuat generasi guru mereka sendiri sebelumnya.
Orang Chan Buddha Shen Hui (Heze Shenhui) adalah salah satu guru Buddhis yang paling kontroversial dan berpengaruh pada paruh pertama abad kedelapan China. Ini adalah periode selama transisi dari Chan Buddha dari cabang relatif tidak jelas Buddhisme Cina,menekankan meditasi duduk, yang paling kuat dan merangsang sekte Buddhisme di China.
Heze Shenhui adalah seorang mahasiswa Huineng (638-713), yang kini dikenal sebagai Patriak keenam Chan. Heze Shenhui dipengaruhi sejarah Chan Buddhisme dengan tiga kontribusi penting, yaitu;
1.    ia menambahkan dukungan untuk mitos bahwa Chan ada di India dan dibawa ke China oleh Bodhidharma;
2.    ia menciptakan mitos bahwa Huineng adalah satu-satunya Patriak keenam di garis tak terputus yang berasal dengan Buddha;
3.    ia tampaknya juga merupakan penghasut penting dari divisi sektarian Chan menjadi Utara "bertahap" tradisi dan Selatan "tiba-tiba" tradisi.
Meskipun biografi kemudian menyatakan bahwa Heze Shenhui bertemu gurunya Huineng, ketika Heze Shenhui berusia 14 tahun, ada kemungkinan bahwa Heze Shenhui pertama kali bertemu Patriak keenam beberapa waktu kemudian, antara 701 dan 709. Shen-hui mungkin telah mempelajari secara singkat dengan Shen Xiu cabang Utara Chan sebelum penelitian dengan Huineng di selatan China.
Tujuh tahun setelah kematian Patriak keenam Huineng di 713, Heze Shenhui mulai mengajar. Shenhui tampaknya tidak menekankan meditasi duduk atau digunakan berteriak atau mencolok dalam gaya mengajar; bukan, ia tampaknya telah mengandalkan berbicara, menjelaskan, dan khotbah fasih dan kuat. Tentu saja dialog rasional yang muncul dalam koan hampir 100 tahun setelah kematian Heze Shenhui adalah tempat di bukti dalam dialog itu direkam. Shenhui menekankan kelas teks kebijaksanaan Buddha disebut literatur Prajnaparamita, yang termasuk Sutra Intan dan Sutra Hati temanya sentral melibatkan wu-nien (Kebebasan dari konseptualisasi), identitas kebijaksanaan dan konsentrasi, melihat dan mengetahui seseorang Buddha, kebijaksanaan (Prajna), dan kekosongan (sunyata) ajaran Sutra Intan. Selain belajar doktrin yang sangat dianjurkan pembacaan dan studi Sutra untuk membantu dalam pencarian kebangkitan.
Pada dekade sekolah Chan Buddha yang paling populer di ibukota adalah sekolah Utara Shen Xiu. Pada 732, Heze Shenhui mulai mengritik ajaran sekolah Utara dan guru;
1.    guru Heze Shenhui sendiri, Huineng, adalah satu-satunya Patriak keenam Chan di Cina, dan dengan demikian para guru Utara Chan hanyalah sampingan transmisi asli Chan, dan;
2.    bahwa pemahaman tentang keturunan Utara Chan adalah gradualis dan tidak benar.
Pengaruh Heze Shenhui dan popularitas mulai meningkat setelah 745, ketika ia melanjutkan diseksi nya garis Utara dan melembagakan pertemuan bulanan ketika ia mengutip teks prajnaparam-ita; mengkritik ajaran, teknik, dan keturunan dari utara; dan menanggapi pertanyaan dari penonton. Seorang pengikut garis Utara saingan Chan mengirim laporan palsu kepada kaisar mengklaim bahwa Heze Shenhui sedang mengumpulkan pengikut untuk tujuan hasutan, dan Heze Shenhui 69 tahun dibuang. Namun, dalam 755, dua tahun kemudian, Jenderal An Lu-shan mulai pemberontakan dan kaisar harus melarikan diri untuk hidupnya. Pemerintah membutuhkan dana. Terlepas dari kenyataan bahwa Heze Shenhui sekarang berusia 73 tahun, dia dipanggil untuk membantu dalam pengumpulan dana dan begitu sukses sehingga ia secara substansial meningkatkan perbendaharaan kerajaan. Akibatnya, ia dipanggil ke istana kekaisaran dan menunjukkan banyak nikmat kerajaan. Sampai kematiannya pada 758 Heze Shenhui adalah penerima banyak patronase kerajaan dan sekolah Southern nya berkembang. Karena presentasi kuat, dalam dekade berikutnya sekolah Southern Heze Shenhui itu menjadi sekte dominan Chan. Tiga puluh delapan tahun setelah kematian Heze Shenhui itu, pertemuan Chan master dipanggil untuk menentukan sekolah dan yang doktrin yang ortodoks. Sekolah Selatan dinyatakan sekolah ortodoks, Huineng diakui sebagai Patriak keenam setelah Bodhidharma, dan Heze Shenhui diputuskan Patriak ketujuh, penerus Huineng. Shen Hui berperan penting dalam membangun daftar resmi transmisi Chan. Dia menggunakan daftar guru Buddha India ditemukan dalam pengantar Dharma-Zen Sutra (manual dari latihan meditasi Zen) untuk membuat sambungan fiktif antara Chan di Cina dan Buddhisme India. Terinspirasi oleh daftar ini, Heze Shenhui menciptakan garis transmisi Patriakal untuk cabang sendiri Chan, untuk membangun legitimasi apa yang disebut "sekolah Selatan Bodhidharma." Dalam benak pendengarnya Shenhui telah membentuk hubungan antara Buddha di India dan gurunya sendiri, Huineng, dengan cara kisah Bodhidharma. Bodhidharma dan Huineng yang sekarang dianggap sebagai pewaris di garis transmisi sejarah doktrin yang tidak bergantung pada teks-Chan ditulis Buddhisme. Sekolah Oxhead dari Chan juga memiliki daftar 29 kepala keluarga, dan dua daftar menjadi digabungkan ke dalam. Dan dikisahkan secara legendaris bahwa ketika di dalam pertemuan dharma, Sang Buddha berkumpul dengan para siswanya, datanglah seorang Brahmin yang memberikan sekuntum bunga Kumbhala kepada Sang Buddha seraya berharap agar Sang Buddha menerangkan Dharma. Pada saat itu Sang Buddha tidak berkata satu katapun, hanya tersenyum. Tak seorangpun yang mengerti, hanya Maha Kasyapa yang tersenyum dan mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha. Berkatalah Sang Buddha kepada Maha Kasyapa: “Engkaulah, Maha Kasyapa! Yang mengerti pelajaran tersebut dan aku wariskan pelajaran tersebut kepadamu”.
2.6.   Ajaran Zen Buddhisme
Di dalam Zen, upacara-upacara yang berbelit-belit kurang di perhatikan, pembakaran dupa wangi dan lilin pun hanya sekali-sekali. Mereka juga mengulang Sutra, namun hal itu bukan merupakan suatu ikatan. Bagi mereka meditasi adalah bagian dari kehidupan mereka, namun meditasi tidak bias menjamin seseorang menjadi Buddha. Segala sesuatu harus diresapi dan di realisasikan agar dapat menghayati setiap momen kehidupan. Mereka begitu mencintai ketenangan, keheningan serta keindahan alam karena hal-hal demikian banyak membantu dalam usaha untuk mencari diri pribadi dan mengenal diri sendiri. Tentu saja moral kesusilaan sangatlah mereka junjung. Chan sebagai sebuah praktek spiritual merupakan mazhab Buddhisme yang berkembang di China. Chan diperkenalkan dari Buddhisme Zen India, oleh para guru India ke Cina sejak abad ketiga. Disiplin mental serta praktek spiritual Zen, bertujuan mencapai suatu keadaan pikiran yang khusyuk melalui konsentrasi. Ini merupakan praktek yang umum di India yang dikenal sebagai meditasi. Di China, Zen dilafalkan sebagai “Chan”, dan teknik-teknik meditasinya dipelajari dengan penuh semangat. Seiring jalannya waktu, Chan mengembangkan penekanan yang berbada dari Zen yang ada di India dan kemudian menyebar ke bagian-bagian Asia lainnya. Sehingga memperoleh sebutan seperti: Zen di Jepang, Son di Korea, dan Thien di Vietnam.
Menurut cerita turun-temurun, sumber Chan berasal dari rahib Bodhidharma yang membawa Chan dari India ke Cina sekitar tahun 500SM, lebih dari seribu tahun setelah ParinirvanaNya Sakyamuni Buddha. Tetapi asal-usul Chan itu sendiri berawal dari transmisi Dharma Sang Buddha kepada Maha Kasyapa, murid Sang Buddha yang akhirnya mengawali garis silsilah Chan sebagai Patriak yang pertama. Dikisahkan, ketika Sakyamuni Buddha berkhotbah di Puncak Hering, Beliau memegang sekuntum bunga di tanganNya di depan sekumpulan muridNya dan Beliu tidak berbicara sepatah katapun. Tampaknya tak seorang pun tahu apa arti sikap ini. Tetapi diantara keheningan itu, tiba-tiba Maha Kasyapa tersenyum. Sang Buddha lalu berkata, “Harta karun ini dari Dharma sejati, pikiran nirvana yang menakjubkan – hanya Maha Kasyapa yang paham.” Peristiwa ini menandai awal dari garis silsilah Chan dan transmisi (penerusan) guru ke murid yang berlanjut sampai kini. Ada dua puluh delapan generasi transmisi (penerusan) sejak zaman Maha Kasyapa sampai zamannya Bodhidharma yang dianggap sebagai Patriakh pertama Chan di Cina. Selanjutnya ajaran Chan diteruskan lewat jalur tunggal selama lima generasi sampai masa Patriakh keenam, Hui Neng (638 – 713).
Di setiap jaman dan setiap tempat, banyak metode praktek yang telah digunakan. Teknik-teknik Ch’an itu fleksibel dan mudah diadaptasikan. Karena situasi yang terus berubah dan tipe orang yang berbeda-beda, seorang guru menggunakan metode yang berlainan untuk menuntun setiap orang ke arah pencerahan. Pernah seorang awam bertanya kepada patriakh keenam, Hui Neng, “Bukankah berpraktek meditasi dan samadhi untuk mendapatkan pembebasan itu perlu?” Patriakh keenam menjawab, “Tidak. Jalan ini (sifat dasar realitas yang hakiki) direalisasi oleh pikiran. Bagaimana ia bisa eksis dalam tindakan duduk?”
Metode hanyalah cara yang berguna untuk menjernihkan pikiran. Zen persis seperti yang ditransmisikan dari India. Salah satu metodenya adalah empat fondasi mindfulness. Pertama-tama sang praktisi memeditasikan (sifat) ketidakbersihan atau kekotoran tubuh, misalnya proses pencernaan. Karena itu metode harus digunakan secara luwes di dalam agama India tujuan mengajarkan metode meditasi dan konsentrasi Zen agar orang dapat membebaskan dirinya dari kondisi spiritual mereka yang tak memuaskan: aflikasi (gangguan-emosi), beban, serta masalah-masalah dalam pikiran manusia. Gangguan kekesalan-kekesalan ini disebabkan oleh hasrat-hasrat kita; kondisi pemikiran kita yang terpencar-pencar. Seseorang yang memulai latihan Chan perlu menggunakan teknik-teknik konsentrasi dasar untuk menenangkan dan menyatukan pikiran. Teknik-teknik ini mencangkup konsentrasi pada nafas, pada tubuh (misalnya, pada garakan-gerakan atau kekotoran tubuh), dan pada suara-suara seperti misalnya air yang mengalir.
Tujuan dari teknik-teknik konsentrasi tersebut adalah untuk membawa pikiran dari keadaan pemikiran yang terpencar serta perasaan-perasaan yang kacau dan keterbelengguan, kedalam keadaan konsentrasi dan selanjutnya kepada keadaan dimana pemisahan antara yang eksternal dan internal lenyap. Tetapi ini barulah tahap pertama dalam praktek Chan. Chan tidak bergantung pada teknik, namun melampaui teknik-teknik konsentrasi Zen. Ada dua buah syair yang terkenal yang masing-masing di buat oleh Shen Siu dan Huineng yang dapat mengambarkan garis esar filsafat Zen.